Transaksi Narkoba Kembali Dikendalikan dari Lapas, ICJR Pertanyakan Langkah Konkret Perombakan Kebijakan Narkotika

Ilustrasi narkoba. (Foto: halodoc)

StarNusantara JAKARTA,- Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) mempertanyakan langkah konkret perombakan kebijakan narkotika, usai penangkapan 8 tersangka di kasus pencucian uang senilai Rp2,1 triliun hasil peredaran gelap narkotika jenis sabu yang dikendalikan Hendra alias HS di Lembaga Permasyarakatan (Lapas) Tarakan pada 18 September lalu.

Pasalnya, menurut Peneliti ICJR, Girlie Aneira Ginting, lembaganya telah memaparkan solusi yang bisa diterapkan untuk mengatasi peredaran gelap narkotika di Lapas maupun dikendalikan dari dalam Lapas sejak 2017 lalu. Namun hingga saat ini, tidak ada tindak lanjut yang diambil oleh Pemerintah maupun DPR atas hal ini.

Girlie menjelaskan, salah satu pemicu peredaran gelap narkotika di Indonesia yaitu Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika (UU Narkotika) yang masih mengkriminalisasi pengguna narkotika yang tidak membawa dampak terhadap penurunan angka perdagangan gelap narkotika.

Kemudian, kriminalisasi pengguna narkotika di Lapas yang justru menumbuhsuburkan peredaran gelap narkotika, karena secara normatif dan praktiknya, UU Narkotika tidak memuat pemisahan yang tegas soal perlakuan antara pengguna dan pengedar narkotika.

“Kondisi itu membuat pemerintah kehilangan fokus mengatasi dan menangani permasalahan peredaran gelap narkotika di Indonesia, dan menjadikan kasus narkotika sebagai ladang transaksi ilegal, termasuk melibatkan aparat penegak hukum sendiri,” katanya dalam keterangan tertulis yang diterima StarNusantara di Jakarta, Senin (23/9).

Bahkan berdasarkan data Kontras 2023, sepanjang 2019– 2022, terdapat 106 insiden Polisi terlibat di peredaran gelap narkotika, yang melibatkan 178 anggota polisi, tersebar pada semua level kantor polisi mulai dari Polsek sebanyak 24 anggota, Polres sebanyak 107 anggota dan Polda sebanyak 47 anggota.

Tidak hanya itu, pasar gelap narkotika tumbuh subur di dalam Lapas karena terdapat pengguna narkotika yang tidak mendapatkan akses intervensi kesehatan maupun program intervensi kesehatan sama sekali.

“ICJR telah menyerukan perombakan kebijakan narkotika dengan memperkenalkan dekriminalisasi pengguna narkotika. Pengguna narkotika diregulasi dengan menegaskan adanya intervensi berbasis kesehatan dan respon non-pidana bagi seluruh pengguna narkotika, sehingga tidak ada celah transaksional yang menyebabkan aparat menawarkan ‘pilihan’ untuk pendekatan kesehatan. Aparat pun bisa berfokus pada menegakkan peredaran gelap narkotika, bukan justru menjerat pengguna narkotika,” jelas Girlie.

ICJR juga menyerukan Pemerintah untuk segera melakukan pembahasan revisi UU Narkotika dan menindaklanjuti rekomendasi JRKN dengan membahas dan mengadopsi dekriminalisasi pengguna narkotika, imbuhnya.

Penulis: Kurniati

Connect with Us

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *