
StarNusantara JAKARTA,- Sejumlah pemuka agama dari berbagai agama di Indonesia berdiskusi soal peran mereka dalam edukasi dan eliminasi stigma Human Immunodeficiency Virus (HIV) dan orang dengan HIV (ODHIV) di masyarakat
Di antaranya Jo Priastana, akademisi Agama Buddha yang mengungkapkan komitmennya melawan stigma HIV dan mempromosikan inklusi melalui ajaran karuna (belas kasih) dan prajna (kebijaksanaan).
“Kami percaya semua makhluk, termasuk ODHIV, berhak bahagia,” katanya dalam diskusi publik ‘Peran Pemuka Agama dalam dengan Mendorong RUU Penghapusan Diskriminasi Komprehensif’ yang diselenggarakan secara daring, Rabu (30/10).
Penggabungan meditasi, kebijaksanaan dan tindakan nyata, membuat Pak Jo, begitu ia akrab disapa terdorong untuk menciptakan ruang inklusif bagi ODHIV.
Dia juga menekankan perawatan diri, baik spiritual maupun kesehatan, penting untuk kesejahteraan holistik.
“Ajaran Buddha mendukung masyarakat penuh kasih dan inklusi tanpa diskriminasi,” kata Pak Jo.
Senada, Aldi Destian Satya, perwakilan dari Majelis Tinggi Agama Khonghucu Indonesia juga menyatakan komitmennya melawan stigma HIV di komunitasnya.
Melalui ajaran Khonghucu, Aldi menekankan pentingnya keseimbangan fisik, mental dan spiritual, termasuk bagi ODHIV.
Aldi juga percaya, stigma hanya bisa dihapuskan dengan sikap tenggang rasa dan sikap memanusiakan manusia melalui cinta kasih.
“Dengan menyediakan dukungan emosional dan fasilitas untuk ODHIV, saya berharap semua orang dapat diperlakukan dengan martabat dan kasih sayang,” katanya di diskusi yang sama.
Selain Pak Jo dan Aldi, pemuka Agama Kristen, Pendeta Yosa Hetharie juga mengingatkan jemaatnya merangkul ODHIV dengan kasih dan harapan.
Dalam setiap khotbahnya, Yosa mengajarkan bahwa HIV bukanlah akhir, melainkan awal dari penerimaan kasih Tuhan yang tak terbatas.
Tak hanya dukungan rohani, Pendeta Yosa turut memastikan akses perawatan yang layak bagi ODHIV yang beragama Kristen.
“Kasih Yesus melampaui batas dan memanggil semua orang untuk berserah dengan iman yang teguh,” katanya.
Sementara itu, pemuka agama Islam dari Pesantren Ekologi Misykat Al-anwar, Gus Fahmi Syaifudin mengajak masyarakat untuk merangkul ODHIV dengan kasih dan pemahaman.
Gus Fahmi juga menekankan Islam adalah agama yang penuh kasih sayang dan keadilan, sesuai dengan surah di Al-Quran, An-Nahl ayat 90.
Dia juga mengutip hadits Nabi Muhammad yang menegaskan pentingnya mencintai sesama tanpa diskriminasi.
“Kita diajarkan untuk merangkul semua orang dengan empati. Menjadi rahmat bagi seluruh alam sesuai QS. Al-Anbiya: 107,” kata Fahmi.
Menurutnya, ada 5 peran yang bisa dilakukan pemuka agama terhadap stigma HIV yang selama ini berkembang di masyarakat.
Yaitu, memberikan edukasi yang akurat tentang HIV, menanamkan nilai-nilai agama yang inklusif, serta mendampingi secara spiritual dan emosional.
“Melalui khotbah dan ceramah, mereka (pemuka agama) dapat mengajarkan ODHIV berhak atas penghormatan dan dukungan tanpa penilaian moral, sehingga membantu menghilangkan stigma dalam komunitas,” imbuh Gus Fahmi.
YIFos Indonesia Sebut Pemuka Agama Berperan Eliminasi Stigma HIV
Forum Pemuda Lintas Iman, Youth Interfaith Forum on Sexuality (YIFoS Indonesia) terus melakukan kampanye untuk mengeliminasi stigma HIV dan ODHIV di masyarakat.
Koordinator Nasional YIFoS, Missael Napitupulu mengaku, stigma dan diskriminasi terhadap ODHIV dan individu ragam orientasi seksual, identitas gender, ekspresi gender dan karakteristik jenis kelamin (SOGIESC) masih kerap terjadi, termasuk di layanan kesehatan.
Padahal, kata Missael, akses terhadap layanan kesehatan yang inklusif dan non-diskriminatif merupakan hak fundamental bagi semua orang.
Namun pada kenyataannya, masih banyak ODHIV dan individu ragam SOGIESC yang mengalami perlakuan yang tidak adil di layanan kesehatan.
Sedangkan di ruang keimanan yang sejatinya dapat menjadi tempat untuk mendapatkan dukungan emosional dan spiritual, belum seluruhnya inklusif.
“Beberapa pemuka agama dan anggota komunitas keimanan masih memegang pandangan konservatif atau negatif terkait HIV serta individu ragam SOGIESC, yang pada akhirnya menciptakan suasana yang tidak mendukung bagi individu-individu ini,” ungkap Missael.
Hal ini berkontribusi pada enggannya kelompok ini untuk mengakses layanan kesehatan yang sebenarnya dibutuhkan, imbuh dia.
Oleh karenanya, YIFoS Indonesia berharap diskusi daring lintas pemuka agama ini semakin bisa mendiskusikan peran lintas sektor dalam serta mengeksplorasi pentingnya mendorong kebijakan inklusif.
“Seperti RUU Penghapusan Diskriminasi, untuk mendukung layanan kesehatan bagi ODHIV dan orang muda ragam SOGIESC,” pungkas Missael Napitupulu.
Penulis: Kurniati Syahdan