
StarNusantara JAKARTA,- Lembaga independen yang fokus pada reformasi hukum pidana, hukum umum dan peradilan pidana di Indonesia, ICJR mengungkapkan kekhawatiran mereka terkait penyelidikan kasus penembakan anak anak Gamma yang dilakukan Aipda Robig Zaenudin, anggota Satuan Reserse Narkoba Polrestabes Semarang.
Direktur Eksekutif ICJR, Erasmus Napitupulu menilai, penyelidikan tidak akan dilakukan secara objektif dan transparan mengingat hubungan kolegial dan hierarki internal yang ada di dalam institusi kepolisian. Termasuk kecenderungan konflik kepentingan ketika polisi menyelidiki tindakan pidana yang dilakukan sesama anggota, dalam hal ini Aipda Robig Zaenudin.
“Perlu digarisbawahi, pada awal kasus ini muncul, Polisi sempat membantah bahkan menyebut Gamma sebagai pelaku tawuran, tidak ada mekanisme yang bisa mengawasi polisi bahkan kewenangan lain seperti Jaksa sebagai penuntut yang harusnya mengawasi penyidikan juga tidak dapat melakukan pengawasan karena harus menunggu koordinasi dari kepolisian sebagai penyidik,” katanya dalam keterangan pers yang diterima di Jakarta, Rabu (4/12).
Menurut Erasmus, buruknya penyidikan tidak hanya terjadi pada tindak pidana yang dilakukan anggota kepolisian saja.
Secara umum dalam sistem pidana di Indonesia Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHAP) dan Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2019 tentang Penyidikan Tindak Pidana, proses penyidikan diatur dengan kewenangan yang besar bagi penyidik tanpa adanya mekanisme kontrol yang ketat dari lembaga di luar kepolisian.
“KUHAP sudah 40 tahun lebih belum direvisi, sehingga Polisi yang selalu memiliki kewenangan besar tidak dibarengi dengan mekanisme pengawasan dan uji yang ada,” kata dia.
Erasmus juga menilai kondisi ini menimbulkan potensi penyalahgunaan wewenang, di mana penyidik memiliki keleluasaan menentukan arah penyidikan tanpa pengawasan yang memadai.
Hal ini, kata dia, diperparah dengan minimnya kontrol efektif dari penuntut umum yang seharusnya berperan sebagai pengawas di proses penyidikan.
“Akibatnya, sering terjadi kasus bolak-balik berkas antara penyidik dan penuntut umum, serta penahanan yang dilakukan secara berlebihan dan tidak proporsional,” kesal dia.
Ia menegaskan, perbaikan menjadi penting agar penyidikan ditempatkan di bawah pengawasan penuntutan, sehingga pengawasan atau kontrol secara eksternal dalam proses penyidikan seharusnya dapat dijalankan oleh jaksa, menimbang perannya sebagai “dominus litis” (pemilik perkara) dalam perkara pidana agar memastikan bahwa setiap langkah penyidikan dilakukan sesuai dengan prosedur hukum yang berlaku dan menjunjung tinggi prinsip-prinsip hak asasi manusia.
“Langkah ini diharapkan dapat meningkatkan akuntabilitas dan transparansi dalam penegakan hukum, serta meminimalisir potensi penyalahgunaan wewenang oleh penyidik,” ungkap Erasmus.
Ditambahkannya, reformasi juga perlu diiringi dengan penguatan mekanisme pengawasan eksternal, termasuk penguatan peran lembaga pengawas independen yang dapat memastikan tindakan penyidikan dilakukan secara profesional dan akuntabel.
Selain itu, perbaikan melalui KUHAP juga perlu dilakukan untuk menegaskan penguatan mekanisme pengawasan penyidikan.
“Peran Hakim Pemeriksa Pendahuluan perlu dipertegas untuk mengawasi jalannya penyidikan dan memastikan bahwa setiap tindakan penyidikan dilakukan secara sah dan berkeadilan,” imbuh Erasmus Napitupulu.
Penulis: Kurniati Syahdan